BATUJAYA, RAKA - Sejak penghitungan suara pemilihan pemilihan legislatif KPU belum keluar pun, berbagai perhitungan telah dilakukan oleh partai-partai, baik yang menang maupun yang kalah. Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu menjadi magnet bagi partai lainnya untuk mendekat. Latar belakang partai tak lagi jadi ukuran.
Demikian dijelaskan pengamat politik, Kholid Al Kautsar kepada RAKA, Senin (1/6) siang. Partai Demokrat pun, sambungnya, kian jual mahal. Merasa telah menang, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY mengajukan sarat untuk koalisi. Dia menyatakan format koalisi harus menjamin pemerintahan yang efektif dalam lima tahun ke depan. Partai Demokrat terbuka berkoalisi dengan parpol mana pun. Namun pihaknya tidak akan memaksakan berkoalisi dengan parpol yang sudah terang-terangan menolak bekerja sama dengan Partai Demokrat.
Partai Golkar yang selama ini dikenal sebagai partai pemerintah dan tak pernah menjadi partai oposisi, awalnya melancarkan berbagai lobi agar JK kembali bisa disandingkan dengan SBY. Namun tampaknya mengurungkan niatnya, bahkan menggulirkan keputusan tidak akan berkoalisi dengan Demokrat. Dan mengusung JK menjadi Capres.
Tak akan ada asap kalau tak ada api, pepatah ini cukup mewakili kondisi politik tanah air terkini. Keretakan Demokrat dan Golkar ini bukan sesuatu yang baru. Sejak awal, mispersepsi kekuasaan antara Presiden SBY dan Wapres JK yang nota bene keduanya dari Demokrat dan Golkar, sudah muncul dan telah menjadi persaingan antara keduanya. Penelitian serius yang dilakukan Reform Institute, menemukan indikasi adanya persaingan antara SBY - JK.
Dan perbedaan pandangan ini diakui JK secara diplomasi menyatakan, suami istri saja sering berbeda pendapat. Asap tebal perbedaan pandangan antara SBY-JK saat itu semakin tampak dari tarik menarik akan adanya reshuffle kabinet untuk para mentri bidang ekonomi. Kewenangan prerogatif presiden untuk melakukan reshuffle seakan menemui batu sandungan, sebab pengelolaan bidang ekonomi merupakan bidang yang dilimpahkan pada Wapres JK.
Sementara itu para menteri bidang ekonomi dijamin oleh JK. Karena itu JK merasa keberatan untuk melakukan reshuffle kabinet. Sebab persoalan ekonomi bukan karena faktor internal, tapi lebih karena faktor internasional. Indikasi lain dari adanya persaingan antara SBY-JK, terlihat saat akan kenaikan harga BBM. Presiden yang melakukan kunjungan kerja ke Amerika terus memantau perkembangan politik terbaru dari tanah air melalui videoconference dengan para menterinya dalam rapat kabinet.
Namun dari tiga kali videoconference yakni tanggal 12, 13 dan 15 September 2005, Wapres JK hanya menghadiri sekali rapat kabinet tersebut. Selebihnya Wapres sibuk dengan agendanya sendiri. Padal jika ditelaah dari substansi rapat kabinet saat itu, merupakan rapat yang sangat penting, sebab pembahasan kebijakan menyagkut nasib 200 juta rakyat Indonesia.
Ketidakhadiran JK tersebut tentu saja menjadi tanda tanya besar. Sebagai Wapres semestinya JK memimpin rapat kabinet menggantikan Presiden yang berhalangan. Bertitik tolak dari telaah fakta tersebut, maka sulit untuk membantah adanya persaingan antara SBY dan JK. Persaingan ini berawal dari mispersepsi tentang kekuasaan, dalam sebuah sistem yang dipegang oleh keduanya.
Kekuatan check and balance antara eksekutif dan legislatif dianggap batu sandungan bagi berjalannya roda kebijakan pemerintahan. Karena itu, dengan segala kekuatan yang ada, JK menguasai partai Golkar. Partai pemenang pemilu 2004 yang memiliki suara terbanyak di legislatif. Dengan dikuasainya partai Golkar, menjadi teman seiring Partai Demokrat, yang mengusung calon pasangan SBY-JK pada pemilu 2004, maka eksekutif merasa nyaman dalam mengambil kebijakan. Sebab mayoritas parpol di legislatif adalah para pendukung eksekutif.
Hal ini terlihat dari voting mengenai perubahan anggaran belanja negara yang berimplikasi pada kenaikan harga BBM. Meski ada PDIP yang beroposisi terhadap eksekutif, namun peran oposisi PDIP tak cukup kuat menjadi penyeimbang bagi peran eksekutif. Karena itu, eksekutif tak cukup mendapat kontrol dari pihak oposisi. Dengan kata lain, fungsi penyelenggara negara seakan pincang, karena tak berdayanya legislatif dalam mengontrol eksekutif.
Implikasi dari minimnya peran check and balance dari legislatif, maka eksekutif merasa asyik dengan dirinya sendiri, tak lagi memperhatikan lawan politik yang selalu mengkritik, maka eksekutif akhirnya saling berebut pengaruh antara satu sama lain dalam dirinya sendiri. Hal ini terbukti dari adanya persaingan pengaruh antara SBY vs JK.
Adanya persaingan SBY-JK, juga implikasi dari mispersepsi tentang kekuasaan dalam ranah private. JK saat dilamar menjadi wakil presiden oleh SBY, tidak mendapat dukungan dari Partai Golkar. Dengan demikian, JK tidak merasa terlalu perlu untuk bargaining politik dengan SBY. Hal ini berimplikasi pada langkah seirama dalam membuat kebijakan, karena merasa dirinya lemah. Namun setelah JK dapat menguasai Partai Golkar, persoalan menjadi lain.
JK merasa kuat untuk melakukan bargaining, baik secara politis maupun ekonomi. Karena itu pelan tapi pasti, asap persaingan antara SBY dan JK kian menebal. Relevansi terhadap kekuasaan, dengan persaingan terselubung antara SBY-JK menemui titik singgung pada mekanisme atau sistem check and balance yang tldak berfungsi secara optimal.
Dukungan yang besar dari legislatif atas kebijakan eksekutif, seakan-akan sebuah tindakan positif, padahal sesungguhnya dukungan tersebut sangat tidak sehat. Sebab dukungan berimplikasi psikologi pada eksekutif. Eksekutif merasa kebijakan yang sudah diambilnya untuk rakyat banyak, seakan sudah benar. Padahal, sedemikian banyak rakyat yang semakin susah hidupnya.
Bertitik tolak dari penelaahan diatas, maka untuk pelaksanaan pemerintahan yang akan datang, menjadi kewajiban banyak pihak, terutama parpol untuk bersikap oposisi terhadap pemerintah yang mendapat dukungan besar dari legislatif. Dengan adanya oposisi akan tercipta chek and balance yang sehat antara eksekutif dan legislatif. Sebab chek and balance yang lumpuh akan membawa dua implikasi negatif.
Pertama, dalam mikro politik munculnya persaingan kekuasaan dikalangan eksekutif seperti SBY-JK. Hal ini terjadi karena keduanya tak menghadapi sorotan tajam dari lawan politiknya atas kebijakan publik yang dibuatnya. Kedua, dalam makro politik, kekuasaan tanpa kontrol cenderung akan korup. "Dan jika ini terjadi, maka mandat yang diberikan masyarakat harus segera diambil kembali," papar Kholid. (spn)