• Jelajahi

    Copyright © KarawangNews.com - Pelopor media online Karawang
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Translate

    Gugatan Fidusia, Ketika Kreditur dan Debitur Berebut Hak Atas Jaminan

    Sabtu, 08 November 2025
    Dendang Koswara, S.H. (kanan) dan rekan LBH JHI Karawang, Jawa Barat.


    KarawangNews.com – Sengketa terkait jaminan fidusia kerap muncul di tengah masyarakat, terutama dalam hubungan antara kreditur (pemberi pinjaman) dan debitur (penerima pinjaman). Dalam praktiknya, banyak kasus yang menimbulkan polemik hukum karena kedua belah pihak tidak memahami batas kewenangan dalam eksekusi objek jaminan.


    Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jaringan Hukum Indonesia Karawang, Dendang Koswara, SH, menjelaskan, fidusia pada dasarnya adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, namun penguasaan fisik atas benda tersebut tetap berada di tangan pemilik awal.


    "Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan. Kepemilikan bendanya tetap berada di tangan pemilik awal, pengalihan dilakukan untuk menjamin pelunasan utang," ujar Dendang Koswara kepada wartawan di Saung Lebak Nyai, Wadas, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (8/11/2025) pagi.



    Menurutnya, objek fidusia dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Namun, persoalan muncul ketika salah satu pihak melanggar kewajibannya.



    "Gugatan fidusia diajukan ketika salah satu pihak dalam perjanjian melanggar kewajibannya, terutama jika debitur melakukan wanprestasi dan tidak menyerahkan objek jaminan secara sukarela," jelasnya.



    Dalam kondisi demikian, kata Dendang, kreditur tidak bisa langsung melakukan eksekusi sepihak. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XXII/2019, kreditur wajib mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk mengeksekusi jaminan fidusia apabila tidak ada kesepakatan damai dengan debitur.


    "Jika gugatan dikabulkan, pengadilan negeri dapat memerintahkan penarikan objek jaminan dan memberi hak kepada kreditur untuk menjual atau melelang objek tersebut guna pelunasan utang," tambahnya.



    Namun, apabila debitur tetap menolak menyerahkan objek jaminan secara sukarela, maka pengadilan berwenang melakukan eksekusi paksa melalui penetapan hukum. Dendang menegaskan, tindakan kreditur yang mengambil paksa barang tanpa keputusan pengadilan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.


    Selain itu, ia mengingatkan, apabila debitur mengalihkan objek fidusia tanpa persetujuan tertulis dari kreditur, maka tindakan tersebut dapat dijerat pidana penjara hingga empat tahun dan denda sesuai Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


    "Kedua belah pihak harus memahami posisi hukum masing-masing. Jangan sampai ada penarikan paksa yang menyalahi prosedur, karena itu bisa berujung pidana," tegas Dendang.


    Pantauan media ini menemukan, banyak masyarakat belum memahami mekanisme gugatan fidusia, terutama dalam kasus pembiayaan kendaraan bermotor. Tidak sedikit perusahaan leasing yang melakukan penarikan di lapangan tanpa dasar hukum yang sah, sementara di sisi lain, debitur juga sering mengabaikan kewajiban pembayaran hingga jatuh tempo.


    Kasus-kasus seperti ini menjadi sorotan LBH JHI Karawang yang kini aktif memberikan pendampingan hukum kepada masyarakat agar proses eksekusi fidusia berjalan sesuai ketentuan perundangan, tanpa ada pihak yang dirugikan. [Sky]


    Kolom netizen

    Buka kolom netizen

    Lentera Islam


    Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah: 153)

    Berita Terbaru