KARAWANG, KarawangNews.com - Miris, kondisi rumah Pani dan Samsiah di RT 10, RW 04, No. 9, Dusun Kaungucip, Desa Sukaratu, Kecamatan Cilebar sudah reyot, keduanya sangat mengkhawatirkan tertimpa rumah jika terjadi hujan dan angin besar.
Di sisi rumah ini terlihat bambu-bumbu penyanggah, pemiliknya mempertahankan agar rumahnya tidak doyong, sebab tiang penyanggah utama rumah sudah patah-patah.
Tentu saja, keduanya tidak mampu memperbaiki keadaan rumahnya yang sudah lapuk, mereka hanya berharap kepada aparat desa dan pemerintah kabupaten memperbaiki rumah mereka satu-satunya ini.
Diakui Samsiah, hanya dia yang setiap hari mencari uang, beli beras untuk makan, pasca kaki kanan suaminya mengalami kelumpuhan sejak tahun 2014 lalu. Sedangkan, anak-anak mereka yang sudah menikah pun mengalami ketidakmampuan ekonomi yang sama.
"Penghasilan hanya ketika musim tandur dan panen saja, tiap harinya dapat upah Rp20 ribu hingga Rp50 ribu perhari. Kalau tidak di musim itu, tiap hari tidak dapat penghasilan apapun, makan pun kadang dari kiriman anak," kata Samsiah, ketika ditemui Selasa (18/2/2020) siang.
Hal serupa dialami pasangan kakek-nenek, Kari dan Ijah, di RT 09, RW 05 dusun yang sama, keduanya hidup berdua dengan kondisi rumah bocor, berlantai tanah dan gubuk reyot. Bahkan mereka tak bisa beli lampu bohlam yang putus, sehingga kondisi rumah selalu gelap meski sudah terpasang listrik.
Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sukaratu, Rasdi menyebutkan, kondisi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di kampungnya ini terhitung banyak, tetapi dia berupaya memasukan data-data rumah reyot sangat parah yang dihuni kakek-nenek.
"Rumah tidak layak huni jumlahnya banyak, tetapi kita ingin prioritaskan yang penghuninya orang tua sepuh yang tidak produktif bekerja," kata dia.
Kalau penghuninya masih muda, sambung Rasdi, sementara ini rumahnya dibiarkan saja, karena dia masih bisa bekerja untuk memperbaiki rumahnya, tapi kita tetap akan usulkan juga untuk perbaikan, jadi rumah layak huni. (spn)
Di sisi rumah ini terlihat bambu-bumbu penyanggah, pemiliknya mempertahankan agar rumahnya tidak doyong, sebab tiang penyanggah utama rumah sudah patah-patah.
Tentu saja, keduanya tidak mampu memperbaiki keadaan rumahnya yang sudah lapuk, mereka hanya berharap kepada aparat desa dan pemerintah kabupaten memperbaiki rumah mereka satu-satunya ini.
Diakui Samsiah, hanya dia yang setiap hari mencari uang, beli beras untuk makan, pasca kaki kanan suaminya mengalami kelumpuhan sejak tahun 2014 lalu. Sedangkan, anak-anak mereka yang sudah menikah pun mengalami ketidakmampuan ekonomi yang sama.
"Penghasilan hanya ketika musim tandur dan panen saja, tiap harinya dapat upah Rp20 ribu hingga Rp50 ribu perhari. Kalau tidak di musim itu, tiap hari tidak dapat penghasilan apapun, makan pun kadang dari kiriman anak," kata Samsiah, ketika ditemui Selasa (18/2/2020) siang.
Hal serupa dialami pasangan kakek-nenek, Kari dan Ijah, di RT 09, RW 05 dusun yang sama, keduanya hidup berdua dengan kondisi rumah bocor, berlantai tanah dan gubuk reyot. Bahkan mereka tak bisa beli lampu bohlam yang putus, sehingga kondisi rumah selalu gelap meski sudah terpasang listrik.
Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sukaratu, Rasdi menyebutkan, kondisi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di kampungnya ini terhitung banyak, tetapi dia berupaya memasukan data-data rumah reyot sangat parah yang dihuni kakek-nenek.
"Rumah tidak layak huni jumlahnya banyak, tetapi kita ingin prioritaskan yang penghuninya orang tua sepuh yang tidak produktif bekerja," kata dia.
Kalau penghuninya masih muda, sambung Rasdi, sementara ini rumahnya dibiarkan saja, karena dia masih bisa bekerja untuk memperbaiki rumahnya, tapi kita tetap akan usulkan juga untuk perbaikan, jadi rumah layak huni. (spn)
